Sabtu, 28 Februari 2009

FOTO DI DALAM DOMPET(story)

Story ini saya dapat dari forum sebelah, dan saya tidak merubah sedikitpun storynya untuk menghormati orang yang menulisnya,
saya mohon jangan males bacanya walaupun panjang...
semoga berkenan di hati saurara/i sekalian...

FOTO DI DALAM DOMPET
Satu hari saya berkunjung ke rumah seorang teman di sebuah kota kecil di pulau Shikoku Jepang. Sebagaimana lazimnya adat di sana - saya disambut oleh seluruh keluarga (istri dan anak-anak). Sambil ngobrol dan main-main, ibu rumah tangga sibuk menjamu dengan terus mengeluarkan kue-kue dan minuman. Kemudian disiapkan juga makan malam lengkap.

Karena melihat istrinya begitu sibuk melayani, saya sampai tidak enak hati dan meminta istrinya santai saja, karena saya merasa bukan tamu resmi terhadap teman baik saya. Tetapi dia bilang bahwa itu adalah adat di Jepang, dan merupakan kehormatan bagi tuan rumah untuk bisa menjamu tamu yang datang dengan sebaik-baiknya. Jadi kemudian saya juga berusaha menunjukkan penghormatan dengan menghabiskan semua makanan lezat yang dihidangkan, dan selalu berkata, "ummai ... tottemo oishii" (mak nyus ... bener-bener enak). Mendengar itu istri teman saya menggelengkan kepala dan berkata, "iie .. iie .. " (gak begitu ..) katanya merendah.

Pada saat ngobrol, teman saya bertanya mengenai istri istri dan anak saya. Saya buka dompet, dan saya tunjukkan foto istri dan anak yang mengenakan pakaian adat Jawa. "Eee... kawaii na .. " (cakep bener) kata mereka serempak. Saya merasa tersanjung dengan pujian mereka. Memang saya memiliki istri yang paling cuantik dan anak paling guanteng, menurut saya sendiri tentunya ... :-) Istrinya kemudian berkata, "Apa Anda selalu membawa foto anak dan istri di dalam dompet?" Saya jawab, "Iya dunk. Khan saya sayang sama mereka." "Naruhodo .." (O begitu) jawabnya keheranan.

Giliran saya yang bingung dan bertanya "Kok Anda kelihatannya aneh?" Dia berkata, "Coba tanya suami saya, di dompetnya apa yang disimpan?" Saya minta teman saya menunjukkan dompetnya. Ternyata adanya SIM, kartu nama dan berbagai kartu bank, tapi tidak ada foto keluarganya. "Kamu tidak simpan foto keluargamu?" tanya saya. Sambil malu-malu dan garuk-garuk kepala dia katakan, "Tidak." "Tapi saya simpan ini," katanya sambil mengambil kertas putih yang terlipat rapi.

Saya buka kertas itu dengan hati-hati, karena kelihatannya umurnya sudah cukup tua. Di dalam kertas sobekan halaman buku itu ada coretan gambar pensil anak TK: seorang ayah yang menggandeng dua anak di kanan kirinya, laki-laki dan perempuan. Diatasnya tertulis : I love papa. "Itu gambar Mi-chan waktu masih TK saat hari ayah." kata teman saya menjelaskan. Hari ayah (fathers's days) di Jepang dirayakan pada hari minggu ketiga bulan Juni, dan dirayakan dengan memberikan hadiah kecil dari keluarga kepada ayahnya. Sekarang Mika, anak kedua perempuannya sudah kelas 6 SD; jadi selama tujuh tahun gambar itu selalu tersimpan rapi di dalam dompet teman saya. Gambar itu adalah tanda sayang seorang anak perempuan kepada ayahnya, dan itu begitu berarti baginya, tetapi tetap tidak ada foto istrinya. Jadi si istri merasa heran saat melihat saya selalu membawa foto istri dan anak di dalam dompet.

Di dalam budaya Jepang yang masih tradisional, hubungan laki-laki dan perempuan itu tidak diungkapkap dengan ekspresif seperti di Amerika atau bahkan seperti di Indonesia. Mereka tidak terbiasa mengungkapkan perasaannya, dan cenderung terlihat "canggung". Jadi orang Jepang sangat jarang menyimpan foto keluarganya di dalam dompet, atau menempatkannya di atas meja kerja. Saya kemudian juga bisa memahami mengapa di dalam dompet teman saya hanya ada gambar pensil anak-nya yang masih TK, sebagai ganti foto istrinya.

"Terus dulu kalian ketemunya di mana?" tanya saya. "Omiai," jawab istrinya. "Ha ... ha ... ha ... Masak gak bisa cari pacar sendiri," saya tertawa dan mereka terlihat malu-malu. "Iya nih ... dulu saya sibuk jadi guru dan dia sibuk jadi karyawan," kata si istri.

"Omiai" artinya perjodohan. Karena di Jepang laki-laki tidak biasa bergaul akrab dengan perempuan seperti di Indonesia dan mereka lebih terfokus pada pekerjaan, maka banyak yang sudah cukup umur tetapi kesulitan memiliki teman dekat untuk dijadikan pasangan hidup. Untuk itu mereka mempergunakan omiai untuk membantu menemukan jodoh mereka. Omiai bisa dilakukan dengan melalui biro jodoh, dibantu oleh teman atau keluarga.

"Terus bagaimana caranya," tanya saya. Omiai teman saya dibantu oleh teman dari orang tua mereka. Teman ini bertindak sebagai MC (mak comblang) yang disebut "nakodo". Nakodo ini mencarikan pasangan, dan memberikan foto kepada si laki-laki dan perempuan dan keluarganya. Tentunya dengan promosi mengenai latar belakang pendidikan, pekerjaan, sifat dan silsilah keluarganya. Setelah merasa cocok, maka nakodo mengajak keduanya bertemu makan malam di restoran. Si perempuan memakai kimono dan laki-laki memakai stelan jas. Pada saat itu si perempuan menuangkan teh untuk laki-laki dan mereka berbicara secara ringan, tapi tidak ada pertanyaan "nembak" (proposal) seperti di Indonesia.

Setelah pertemuan itu selesai, teman saya menyampaikan kepada nakodo bahwa dia merasa cocok dan minta hubungannya diteruskan. Si nakodo kemudian mempertemukan kedua keluarga dan dilakukan pembicaraan resmi, menyangkut hubungan keduanya. Sementara itu teman saya bisa mulai ketemuan secara rutin dalam waktu yang singkat.

Kedua keluarga kemudian mengatur rencana pesta beserta biayanya, dan keluarga laki-laki menanggung sebagian besar biayanya. Waktu itu sekitar 2 juta yen. Itu untuk biaya resepsi di jinja (kuil), pesta di restoran, dan sewa apartemen keluarga baru. Karena si nakodo adalah teman sendiri maka tidak ada biaya alias "cincai lah." Tapi jika mempergunakan biro jasa, biasanya mereka mematok biaya sekitar 10-15 persen dari total biaya pernikahan.

Mungkin karena menikahnya dengan "omiai", maka hubungan keduanya terasa canggung untuk mengungkapkan kasih sayang secara langsung. Apalagi dalam budaya Jepang tradisional, wanita harus melayani suami dengan baik di rumah dalam arti harafiah - seperti melepas sepatu dengan berlutut, membawa tas kerja ke dalam rumah atau menyiapkan air panas untuk berendam di "ofuro". Adalah tabu bagi laki-laki untuk mengerjakan pekerjan perempuan di rumah. Tapi sekarang ini anak-anak muda di kota besar sudah mulai menganut gaya hidup barat yang terbuka dan moderen, juga dalam hubungan laki-laki dan perempuan.

Saya kemudian bercerita bahwa di rumah kalau pembantu sedang mudik, saya biasa membantu istri mengerjakan pekerjaan rumah seperti cuci piring dan mengepel lantai. Atau memijat istri jika badannya pegal-pegal. "Honto .. ?" (beneran?) kata istri teman saya dengan tidak percaya. "Honto desu !" (bener koq) jawab saya pasti. "Ii ... na ... " (enak banget yah ... ) katanya lagi setengah mengeluh. Saya menambahkan bahwa sebelum berangkat kerja saya biasa memeluk dan mencium istri dan anak-anak. Dan kita biasa saling mengucapkan "I love you" "Honto ... " (bener?) kembali kata istri teman saya benar-benar tidak percaya.

Kemudian saya punya ide. Saya bicara pada teman saya. "Karena saya sekarang jadi tamu di sini, saya punya satu permintaan." "Dozo ... omakase .. " (silahkan) jawab teman saya sebagai tuan rumah yang baik. "Saya minta kamu bilang 'I love you' sama istrimu." Dia kebingungan setengah mati, dan mukanya merah padam seperti kepiting rebus. "Ayolah, kamu khan suaminya. Jadi tidak ada salahnya." kata saya memberi semangat. "Papa .. ganbatte " (ayo semangat papa) kedua anaknya bertepuk tangan memberi dorongan dengan riuh.

Setelah melalui perjuangan yang berat akhirnya kemudian berkata, "I love you ma." Semuanya menyambut dengan tepuk tangan yang seru. Teman saya merasa lega dan tidak canggung lagi, bahkan dia memeluk istrinya dengan hangat dan mencium pipinya. Dia kemudian melanjutkan dengan memeluk kedua anaknya dan berkata, "I love you". Anak-anaknya menjawab dengan teriakan semangat, "I love you too papa ..."

Melihat itu semua sekarang justru istrinya yang menangis. Saya tidak tahu apa yang ada di benaknya, dan merasa tidak sampai hati untuk bertanya. Setelah beberapa waktu emosinya reda dia berkata dengan lirih, "Arigato Atmo san" (terima kasih Atmo san) "Ini adalah pertama kali saya mendengar dia mengatakan 'I love you' ... " Ternyata gara-gara omiai dan karena budaya tradisional yang ketat, sampai menikah dan punya dua anak, teman saya tidak pernah mengucapkan "I love you" secara langsung kepada istrinya.

Malam itu saya meneruskan acara bersama keluarga teman saya dengan main bowling dan karaoke. Saat itu saya melihat teman saya sudah tidak sama lagi seperti sebelumnya - dia sekarang begitu akrab dengan istri dan kedua anaknya, dan sesekali saya dengar dia berkata, "I love you ma." Dan terdengar sebuah jawaban lembut, "I love you too papa."

0 komentar:

Posting Komentar